Beranda | Artikel
Setelah Menikah Lebih Baik Pisah Rumah dengan Orang Tua atau Serumah?
Rabu, 21 September 2022

Pertanyaan:

Saya laki-laki dan anak pertama di keluarga saya. Jika saya menikah nanti, apakah sebaiknya saya tetap tinggal bersama orang tua saya untuk merawat mereka ataukah sebaiknya pindah ke rumah tersendiri bersama istri saya? Karena saya ingin tetap berbakti kepada orang tua. Saya juga memiliki adik laki-laki dan perempuan yang tinggal bersama orang tua saya. Mohon nasehatnya.

Jawab:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu was salamu ‘ala asyrafil anbiya’ wal mursalin Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.

Yang kami lebih rekomendasikan dalam masalah ini adalah tinggal di rumah tersendiri setelah menikah. Karena inilah yang umumnya dipraktikkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat terdahulu. Ini ditunjukkan oleh beberapa hadits dan atsar.

Dalam hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

ما رأَيْتُ أحدًا كان أشبهَ سمتًا وهَدْيًا ودَلًّا . والهدى والدال ، برسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم من فاطمةَ كرَّمَ اللهُ وجَهْهَا ؛ كانت إذا دخَلَتْ عليه قام إليها ، فأخَذَ بيدِها وقبَّلَها وأَجْلَسَها في مجلسِه ، وكان إذا دخَلَ عليها قامت إليه ، فأَخَذَتْ بيدِه فقَبَّلَتْه وأَجَلَسَتْه في مجلسِها

“Aku tidak pernah melihat seseorang yang mirip dengan Rasulullah dalam masalah akhlak, dalam memberi petunjuk, dan dalam berdalil, melebihi Fatimah -semoga Allah memuliakan wajahnya-. Jika Fatimah masuk ke rumah Rasulullah, maka Rasulullah pun berdiri, meraih tangannya, menciumnya, dan mendudukkannya di tempat duduknya. Dan jika Rasulullah datang ke rumah Fatimah, maka Fatimah pun meraih tangan beliau, menciumnya, dan mendudukkannya di tempat duduknya.” (HR. Abu Daud no. 5217, dishahihkan al-Albani dalam Shahih Abu Daud)

Dalam hadits ini disebutkan bahwa rumah Fatimah radhiyallahu ‘anha berbeda dengan rumah ayahnya, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Aisyah radhiyallahu ’anha, ia berkata:

أبا بكر دخل عليها، والنبي صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عِندَها، يومَ فطر أو أضحى، وعِندَها قينتان تغنيان بما تقاذفت الأنصار يومَ بعاث، فقال أبو بكر : مزمار الشيطان ؟ مرتين، فقال النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : ( دعهما يا أبا بكر، إن لكل قوم عيدا، وإن عيدنا اليومَ )

“Abu Bakar mengunjungi rumah Aisyah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada di sana. Ketika hari Idul Fitri atau Idul Adha. Ketika itu ada dua wanita penyanyi dari kaum Anshar yang sedang bernyanyi dengan syair-syair kaum Anshar di hari Bu’ats. Maka Abu Bakar berkata: Mengapa ada seruling setan? Mengapa ada seruling setan? Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Biarkan mereka wahai Abu Bakar! Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan inilah hari raya kita.” (HR. Bukhari no. 3931)

Dalam hadits ini disebutkan bahwa rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha, berbeda dengan rumah ayahnya yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.

Dari Nafi’ rahimahullah, ia berkata:

بلغ عمر أن صفية امرأة عبد الله بن عمر سترت بيوتها بقرام أو غيره ، أهداه لها عبد الله بن عمر ، فذهب عمر وهو يريد أن يهتكه ، فبلغهم فنزعوه ، فلما جاء عمر لم يجد شيئا ، فقال : ما بال أقوام يأتوننا بالكذب

Telah sampai berita kepada Umar bin Khattab bahwa Shafiyyah, istrinya Abdullah bin Umar, telah menutupi rumahnya dengan tirai bergambar atau dengan kain lainnya, yang diberikan oleh Abdullah bin Umar. Maka Umar pun pergi ke rumah Abdullah bin Umar untuk mencabutnya. Berita ini pun sampai kepada Shafiyyah dan Abdullah bin Umar, mereka pun segera mencabutnya. Pada saat Umar sampai di rumah Abdullah, tirai tersebut sudah tidak ada. Beliau berkata: “Ada apa gerangan suatu kaum, mereka menyampaikan kepada kami kabar yang dusta.” (Diriwayatkan Abdurrazaq dalam Mushannaf-nya, no.19822)

Dalam atsar ini ditunjukkan bahwa rumah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, berbeda dengan rumah ayahnya yaitu Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu.

Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu,

أَنْكَحَنِي أَبِي امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ ، فَكَانَ يَأْتِيهَا فَيَسْأَلُهَا عَنْ بَعْلِهَا ، فَقَالَتْ: نِعْمَ الرَّجُلُ، مِنْ رَجُلٍ لَمْ يَطَأْ لَنَا فِرَاشًا ، وَلَمْ يُفَتِّشْ لَنَا كَنَفًا مُنْذُ أَتَيْنَاهُ !!فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ: (ائْتِنِي بِهِ (فَأَتَيْتُهُ مَعَهُ ، فَقَالَ: ( كَيْفَ تَصُومُ؟ ) قُلْتُ: كُلَّ يَوْمٍ .قَالَ: (صُمْ مِنْ كُلِّ جُمُعَةٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ)، قُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ ، قَالَ: (صُمْ يَوْمَيْنِ وَأَفْطِرْ يَوْمًا )، قَالَ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ ، قَالَ:(صُمْ أَفْضَلَ الصِّيَامِ ، صِيَامَ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ ، صَوْمُ يَوْمٍ وَفِطْرُ يَوْمٍ

“Ayahku menikahkanku dengan seorang wanita yang mempunyai kedudukan. Lalu ayahku mendatanginya dan menanyakan tentang keadaan suaminya. Ia menjawab: “Dia adalah suami terbaik, namun ia tidak menyentuh kami di ranjang dan tidak menggauli kami bersamanya”. Kemudian ayahku melaporkan ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau lalu bersabda: “Hadirkan Abdullah kemari!”. Maka kami berdua (Abdullah dan ayahnya) mendatangi Nabi. Lalu beliau bertanya: “Bagaimana kamu berpuasa?”, Abdullah menjawab: “Setiap hari”. Beliau bersabda: “Berpuasalah setiap pekan tiga hari”. Abdullah menjawab: “Aku mampu lebih dari itu!”. Beliau bersabda: “Berpuasalah selama dua hari, lalu sehari setelahnya tidak berpuasa”. Abdullah menjawab: “Saya mampu lebih dari itu!”. Nabi bersabda: “Berpuasalah dengan sebaik-baik puasa, puasa Daud ‘alaihissalam puasa satu hari dan berbuka satu hari!”. (HR. an-Nasa’i no.2388, dishahihkan al-Albani dalam Shahih an-Nasa’i. Nash hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari no.5052)

Bahkan berbedanya tempat tinggal anak yang sudah dewasa dengan orang tuanya, juga disyariatkan di dalam al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman:

لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, (di rumah) yang kamu miliki kuncinya atau (di rumah) kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila kamu memasuki rumah-rumah hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) bagimu, agar kamu mengerti.” (QS. an-Nur 61)

Mujahid rahimahullah menafsirkan ayat ini dengan mengatakan: “Dahulu ada orang yang pergi bersama orang buta, orang sakit, dan orang yang pincang ke rumah orang tuanya, atau rumah saudaranya, atau rumah saudara bapaknya, atau rumah saudara ibunya, atau rumah saudari bapaknya. Kemudian orang-orang yang lemah merasa tidak nyaman dengan hal ini. Mereka mengatakan: Kami pun pergi ke rumah yang lain. Kemudian turunlah ayat ini sebagai keringanan untuk mereka.” (Tafsir ath-Thabari, 17/368)

Sehingga, yang lebih utama seorang anak yang sudah berkeluarga hendaknya tinggal di rumah yang tersendiri berbeda dengan rumah orang tuanya. Sebagaimana dipraktikkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mayoritas salaf. 

Demikian juga, tinggal di rumah yang tersendiri berbeda dengan rumah orang tuanya memiliki beberapa manfaat:

1. Suami dapat memimpin keluarganya dengan sempurna tanpa intervensi dari orang tuanya. Karena suami adalah pemimpin keluarga. Sebagaimana firman Allah ta’ala,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. an-Nisa: 34)

2. Suami dan istrinya dapat mendidik anak-anaknya dengan lebih sempurna, tanpa intervensi dari orang tuanya. Terlebih jika orang tuanya awam dalam masalah agama, yang terkadang akan memberikan pengaruh buruk kepada anak-anak.

3. Masalah suami-istri dapat dijaga dan diselesaikan berdua antara suami dan istri, tanpa melibatkan orang tua dan tanpa diketahui oleh orang tua. Aib-aib dan konflik rumah tangga tidak tersebar dan tidak diketahui pihak luar, sehingga lebih mudah untuk diselesaikan dengan bijak.

4. Terlebih jika di rumah orang tua terdapat saudara atau saudari ipar yang merupakan non-mahram. Sehingga harus menutup aurat sempurna di depannya, tidak boleh berduaan, tidak boleh bersentuhan dan adab-adab yang lain. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ . قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Hati-hatilah kalian ketika menemui para wanita”. Lalu seorang laki-laki Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda tentang saudari ipar?”. Beliau menjawab, “Ipar adalah maut!” (HR. Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 2172)

Akan tetapi, bukan berarti orang yang sudah berumah tangga tidak boleh tinggal bersama orang tua. Sebagian sahabat Nabi pun setelah menikah ada yang tetap tinggal bersama orang tuanya. Dari jalur ‘Amr bin Maimun dari ayahnya, ia berkata:

من طريق عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ , عَنْ أَبِيهِ , قَالَ: قُلْتُ لِسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ:”أَيْنَ تَعْتَدُّ الْمُطَلَّقَةُ ثَلَاثًا؟ فَقَالَ: فِي بَيْتِهَا ، فَقُلْتُ لَهُ: أَلَيْسَ قَدْ أَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ؟ فَقَالَ: تِلْكَ الْمَرْأَةُ فَتَنَتِ النَّاسَ , وَاسْتَطَالَتْ عَلَى أَحْمَائِهَا بِلِسَانِهَا ، فَأَمَرَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ ، وَكَانَ رَجُلًا مَكْفُوفَ الْبَصَرِ

“Aku berkata kepada Sa’id bin Musayyab: Di mana seorang wanita yang ditalak tiga menjalani masa iddah? Beliau menjawab: “Di rumahnya”. Lalu aku berkata: Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyuruh Fathimah binti Qais untuk menjalani masa ‘iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum? Maka Sa’id bin Musayyab menjawab: “Wanita tersebut telah menimbulkan fitnah bagi banyak orang, panjang lisannya kepada saudara suaminya (menyakiti suaminya dengan lisannya), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya untuk menjalani masa ‘iddah di rumah Abdullah bin Ummi Maktum, beliau termasuk orang yang tidak bisa melihat.” (Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Atsar, 3/69)

Ibnu Abdil Bar rahimahullah menjelaskan atsar ini di dalam al-Istidzkar (6/158): 

أَنَّ عَائِشَةَ كَانَتْ تَقُولُ وَتَذْهَبُ إِلَى أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ لَمْ يَبُحْ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخُرُوجَ مِنْ بَيْتِهَا الَّذِي طُلِّقَتْ فِيهِ إِلَّا لِمَا كَانَتْ طُلِّقَتْ فِيهِ مِنَ الْبِذَاءِ بِلِسَانِهَا عَلَى قَرَابَةِ زَوْجِهَا السَّاكِنِينَ مَعَهَا في دار واحدة ، وَلِأَنَّهَا كَانَتْ مَعَهُمْ فِي شَرٍّ لَا يُطَاقُ

“Bahwa ‘Aisyah pernah berkata dan berpendapat bahwa Fatimah binti Qais sebenarnya tidak dibolehkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk keluar dari rumah suaminya. Namun karena perkara keburukan lisannya kepada kerabat suaminya yang tinggal bersamanya di dalam satu rumah. Dan karena Fathimah bintu Qais tidak tahan dengan kondisi tidak nyaman ketika tinggal bersama dengan mereka.”

Dalam atsar ini, disebutkan bahwa Fathimah bintu Qais dan suaminya tinggal seatap dengan kerabat suaminya. Demikian juga Aisyah radhiyallahu ‘anha terkadang tinggal di rumah Abu Bakar ash-Shiddiq dalam kondisi tertentu. Dari al-Barra’ bin ‘Adzib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

فَدَخَلْتُ مع أبِي بَكْرٍ علَى أهْلِهِ، فإذا عائِشَةُ ابْنَتُهُ مُضْطَجِعَةٌ قدْ أصابَتْها حُمَّى، فَرَأَيْتُ أباها فَقَبَّلَ خَدَّها وقالَ: كيفَ أنْتِ يا بُنَيَّةُ

“Aku masuk ke rumahnya Abu Bakar bersama beliau. Ketika itu, ada putri beliau, Aisyah, sedang berbaring di tempat tidur karena sakit demam. Maka aku melihat Abu Bakar mencium pipinya Aisyah dan Abu Bakar berkata: bagaimana kabarmu wahai putriku?” (HR. al-Bukhari no. 3917)

Sehingga masalah ini perlu dimusyawarahkan dengan baik, dipilih mana keputusan yang paling mendatangkan maslahat bagi semuanya. Dan jangan sampai ketika memutuskan tinggal terpisah dengan orang tua kemudian lalai terhadap birrul walidain. Demikian juga jika memutuskan tinggal bersama orang tua, jangan sampai berbuat zalim kepada istri sehingga istri berada dalam kondisi tertekan dan tidak nyaman. Semuanya perlu dibicarakan dengan baik. Allah ta’ala berfirman:

وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ

“Perkaranya orang-orang beriman adalah bermusyawarah di antara mereka.” (QS. asy-Syura: 38)

Wallahu a’lam, semoga Allah memberi taufik.

(Banyak mengambil faedah dari Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid dalam Fatawa Islam Sual wal Jawab no.261757, dengan beberapa penambahan).

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/39815-setelah-menikah-lebih-baik-pisah-rumah-dengan-orang-tua-atau-serumah.html